1. Pengertian Swasembada Pangan
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan.Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia salah satu cara yaitu dengan berbagai macam kegiatan seperti ini :
·
Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani &
lahan pertanian.
·
Pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti:
pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan
khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju
lahan tsb.
·
Penyuluhan & pengembangan terus menerus untuk
meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat - obatan, teknologi maupun
SDM petani.
·
Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak
dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dalam hal ini
padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yang paling mungkin adalah sagu,
gandum dan jagung (khususnya Indonesia timur).
Jadi
diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki
pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di
indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan
sosialisasi ragam menu yang tidak mengharuskan makan nasi seperti yang
mengandung karbohidrat juga seperti nasi yaitu : singkong, ubi, kentang.
Pada
level nasional pengertian swasembada pangan telah menjadi perdebatan selama
tahun 1970 sampai tahun 1980an. Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan
untuk melakukan swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya
yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas
pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan
di pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi
pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan
karena ada hambatan akses dan distribusi pangan Stevens
et al. (2000).
Negara-negara
kategori A (USA, Canada, Australia, Brunei) memiliki kapasitas pangan yang
paling kuat karena memiliki kondisi pangan ideal di mana mereka mampu
berswasembada pangan tetapi sekaligus juga memiliki ketahanan pangan yang kuat.
Sedangkan Negara C seperti Singapura, Norwegia dan Jepang, mereka sama sekali
tidak swasembada pangan tetapi memiliki fondasi ketahanan pangan yang jauh
lebih kuat dari Negara-negara kategori B seperti Indonesia, Filipina dan Myanmar.
Keterbatasan
konsep swasembada pangan ini terjadi di Afrika
pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi untuk mencapai
swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada masyarakat. Sehingga
jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis
menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga. (Borton and
Shoham, 1991). Stevens et al . (2000, dalam Lassa, 2006) memberikan ilustrasi
yang membedakan secara tegas antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan
Bostwana, sebagai misal,
sebagai Negara dengan pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan
yang kronis karena minimnya lahan pertanian. Strategi ketahanan pangan
nasionalnya adalah swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi
pada
self-reliance. yang mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari
pangan import terhadap ketahanan pangan nasional. Thompson dan Cowan (2000
dalam Lassa, 2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal
ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi
perdangan yang terjadi di beberapa Negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan
ulang ketahahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya,
40% didapatkan dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan
pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan
dan swasembada adalah dua hal yang berbeda. Amartya Sen berhasil menggugat
kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa
ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan adalah soal produksi dan ketersediaan
semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di India dan Afrika, Sen
mampu menunjukan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan justru kerap terjadi
karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah,
ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu
bukti (Lassa, 2006). Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti dan akademisi
menyadari bahwa kerawanan pangan terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi
tidak mampu diakses rumah tangga karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang
dimiliki (pendapatan, kesempatan kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini
konsisten dengan pendapat Sen (1981) bahwa produksi pangan bukan determinan
tunggal ketahanan pangan, melainkan hanyalah salah satu faktor penentu.
Sampai
saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami
pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan
tersebut konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan
produksi ataupun penyediaan pangan yang cukup. Swasembada pangan umumnya
merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional,
sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakanakses setiap individu untuk
memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.
2. Swasembada Pangan Di Indonesia
Swaembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi atau
Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri.
Karena swasembada pangan apabila Negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan
pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap impor pangan
dari Negara lain. Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada kenyataannya
program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program
swasembada pangan.
Tampaknya
program swasembada pangan khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama
jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan lebih mementingkan impor
ketimbang memperluas lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi.
Swasembada beras tinggal ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam.
Indonesia
sebenarnya memiliki sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk
mendukung swasembada beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi
yang masih potensial dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani)
banyak, produksi pupuk dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah
terbentuk sejak lama.
Namun
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait
malah terkesan memandang sebelah mata sektor
pertanian tanaman pangan. Fakta paling gamblang
tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis – terus menyusut
secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan nonpertanian, terutama
permukiman dan industri.
Maka
jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan kalaupun
berbagai faktor amat menunjang – seperti iklim, pengendalian hama, juga penyediaan berbagai input –
produksi beras nasional sulit sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional
boleh dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun. Padahal
konsumsi nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat
pasti dan begitu signifikan.
Di
lain pihak, negara-negara seperti Thailand
dan Vietnam terus berupaya keras meningkatkan produksi beras secara intensif.
Upaya mereka sungguh tak mengenal lelah, termasuk mengembangkan dan menerapkan
inovasi pertanian. Target mereka bukan lagi sekadar mencapai swasembada,
melainkan tampil menjadi negara produsen beras terbesar di dunia.
Dalam
konteks seperti itu pula, Thailand dan Vietnam
sering tampil menjadi “penyelamat” bagi Indonesia ketika persediaan beras di
dalam negeri menyusut. Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber
andalan bagi impor beras.
Tapi
celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi sekadar alternatif sementara.
Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk mengamankan kebutuhan nasional.
Di tengah produksi beras di dalam negeri yang cenderung stagnan atau bahkan
terus menurun, sementara kebutuhan konsumsi mencatat grafik yang kian menanjak,
pemerintah tidak cukup terlecut untuk bertindak habis-habisan menggerakkan
upaya peningkatan produksi beras nasional. Pemerintah terkesan lebih merasa
aman dan nyaman mengandalkan impor.
Untuk
mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah
seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para petani,
sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik. Untuk
mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi beras
sebanyak 2 juta
ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun hingga tahun 2009.
Kunci
keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber daya
pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana
produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi
serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.
Sementara
strategi
yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan
produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan
kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.
Sedangkan
upaya peningkatan produktivitas padi antara lain melalui pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare, penanaman padi hibrida
di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan intensifikasi non-PTT di
33 provinsi seluas 10,3 juta hektare.
3. Hambatan Dalam Program Swasebada Pangan
Swasembada
pangan terkendala pada keterbatsan lahan, swasembada pangan berkelanjutan
pemerintah telah menetapkan peningkatan produksi. Dalam menuju
swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih
bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan,
mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud. Dalam memenuhi swasembada
pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi
padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari
17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton.
Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6
juta ton pada tahun 2014. Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan
yang cukup signifikan. Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium
dilaksanakan. Secara teknis pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak
menguntungkan dalam menuju swasembada pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas
pada komoditas lain, seperti sektor perkebunan (CPO) dan kehutanan (HTI).
Memang komoditas pangan ini di prioritaskan untuk pemenuhan domestik, sedangkan
kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor nasional. Dengan terbatasnya
lahan yang tersedia, pemberlakuan moratorium dikhawatirkan akan mengganggu
target swasembada pangan 2014. Moratorium tidak hanya menghambat masalah
teknis, tetapi menambah potensi kerugian dan uncertain dalam berinvestasi.
Bandingkan "hadiah" yang diberikan dengan nilai kerugiannya ekonomi
akibat moratorium. Pemberian dalam bentuk grant atau hibah ini juga belum tentu
disetujui Stortinget (parlemen) di negaranya.Adapun, masa moratorium selama 2
(dua) tahun, tidak menjamin hutan tidak dijarah atau rusak, tapi akan malah
menderukan suara chainsaw semakin kencang. Jadi dalam hal ini, siapa yang
untung dan buntung? Akhirnya pemerintah telah menandatangani LoI dan segera
melaksanakan 1 Januari 2011. Ini pertanda apa. Industri kita akan kiamat
(buntung) atau industri mereka akan selamat (untung). Notabene negara pemberi
hadian ini adalah kompetitor besar Indonesia pada komoditas hasil kehutanan.
Dalam
Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010, dia mengatakan, mencapai
target ini diperlukan peningkatan areal pertanaman. Dia mencontohkan, pada
swasembada gula dibutuhkan lahan tambahan 350.000 hektare (ha), kedelai 500.000
ha. “Tapi ada kendala. Hingga saat ini, pun belum ada kepastian soal lahan,”
katanya dalam kegiatan yang diikuti para Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan
Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia. Kondisi ini, menjadikan satu lahan
pertanian terpaksa untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara
bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam
upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika menggenjot produksi kedelai,
produksi jagung akan turun. Sebab, lahan diambil kedelai. Juga sebaliknya,
karena kedua komoditas ini ditanam saling menggantikan.
Sebenarnya
Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta ha dari total
lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga saat ini
belum ada kejelasan soal lahan itu. Selain keterbatasan lahan, kendala lain
yang dihadapi mencapai swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi
lahan pertanian ke non pertanian.
Saat
ini, konversi lahan pertanian mencapai 100.000 ha per tahun, sedang kemampuan
pemerintah menciptakan lahan baru maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun
justru terjadi pengurangan luas lahan pertanian. Sementara perubahan yang
mengakibatkan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran juga berdampak
terhadap upaya swasembada produk strategis itu.
Menyinggung
upaya pemerintah mengatasi persoalan keterbatasan anggaran, pemerintah
mengembangkan program food estate atau kawasan pertanian skala luas dengan
merangkul swasta, BUMN dan BUMD. “Food estate itu sebagai akselerasi, karena
anggaran APBN
terbatas. Orientasi ekspor, tetapi kalau kebutuhan
dalam negeri berkurang, diutamakan mengisi kebutuhan dalam negeri.
Pentingnya pencapaian swasembada beras, perlu
diketahui kedudukan khusus beras dalam menu, budaya, dan politik Indonesia.
Beras adalah bahan makanan pokok bagi orang Indonesia. Berbagai bahan makanan
lain pengganti beras pernah dianjurkan oleh pemerintah, namun rakyat tidak
menyukainya. Ketika harga beras melonjak sampai pada titik di mana konsumsinya
harus dikurangi, penduduk menjadi kekurangan gizi dan kelaparan. Beras adalah
pusat dari semua hubungan pertalian sosial. Radius Prawiro pada tahun 1998
menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah
swasembada beras, diantaranya: 1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga
Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang
paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat
langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan
pasokan dan harga pada tingkat ansional. Bulog sengaja diciptakan untuk
mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang
lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara
bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade
80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri
untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas
pasar yaitu:
·
Teknologi dan
Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak
program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani.
Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para
petani. Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin
teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain
yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan
penggunaan pupuk kimia.
·
Koperasi
Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami
panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara
untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari
koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa). Pada tingkat
kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa).
Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan
organisasi.
·
Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara
langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung
memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan
hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain
yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada
beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan
pelabuhan.
4. Kesimpulan Dan Saran
Jadi swaembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi
atau Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri.
Karena swasembada pangan apabila Negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan
pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap impor pangan
dari Negara lain. Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk memeuhi
kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada kenyataannya program
yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program
swasembada pangan. Hambatan yang terjadi dalam terciptanya swasembada pangan
adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk Indonesia sangat
banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang cukup luas
lahan. Solusinya adalah pemerintah harus menyisihkan di setiap provinsi maupun
daerah-daerah untuk mempunyai lahan yang luas agar dapat menanam semua
kebutuhan pangan disitu.Jangan setiap ada lahan kosong langsung menjadi proyek
bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak tertentu atau pribadi. Sehingga
lahan yang seharusnya digunakan dalam menjalakan program swasembada malah
menjadi suatu bisnis yang menyebabkan kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah
permanen, mall, hotel serta apartement. Hal ini lah yang menjadi salah satu
hambatan di Indonesia akan terus menerus kekurangan bahan pangan dan mengimpor
dari Negara lain.
Serta
kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi sumber
daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan sarana
produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi
serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan.
Sementara
strategi
yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan itu, yakni dengan peningkatan
produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan
kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani.
5. Daftar Pustaka
Tambunan,
Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
http://www.merdeka.com/uang/5-penyebab-swasembada-pangan-sulit-terwujud.html